BAB
3 (HUKUM PERDATA)
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan
antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum
di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua
yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo-Saxon (common law)
tidak dikenal pembagian semacam ini.
Ø Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis
yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang pada
waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang
berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum
dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di
negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah
kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813).
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum
Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya
Kemper meninggal dunia pada 1824
sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang
menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia.
Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli
1830 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1
Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
·
BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata-Belanda).
·
WvK [atau yang dikenal dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang]
Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari
Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa
nasional Belanda.
Ø Hukum Perdata yang berlaku di
Indonesia
Yang dimaksud
dengan hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku di Indonesia.
Hukum perdata di Indonesia adalah hukum perdata barat (Belanda) yang berinduk
pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt), yang didalam bahasa aslinya
disebut dengan Burgenjik Wetboek. Burgenjik Wetboek ini berlaku di Hindia
Belanda dulu.
Hukum perdata
yang berlaku di Indonesia meliputi hukum perdata barat dan hukum perdata
nasional. Hukum perdata nasional adalah hukum perdata yang diciptakan olehh
pemerintah Indonesia yang sah dan berdaulat.
Adapun kriteria hukum
perdata yang dikatakan nasional yaitu :
a. Berasal dari hukum perdata Indonesia
b. Berdasarkan sistem nila budaya
c. Produk hukum pembentukan Undang-undang
Indonesia
d. Berlaku untuk semua warga negara Indonesia
e. Berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia
Ø Pengertian Dan Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
Yang dimaksud
dengan hukum perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan didalam
masyarakat. Perkataan hukum
perdata dalam artian yang luas meliputi semua hukum privat materiil
dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana.
Untuk hukum privat
meteriil ini ada juga yang menggunakan dengan perkatan hukum sipil,
tapi oleh karena perkataan sipil juga digunakan sebagai lawan dari militer,
maka yang lebih umum lagi digunakan nama hukum
perdata saja, untuk segenap peraturan hukum
privat materiil (hukum
perdata materiil).
Dan pengertian
dari hukum
privat (hukum
perdata materiil) ialah hukum
yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antara perseoranan didalam
masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam
arti bahwa didalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan sesuatu pihak secara timbal
balik dalam hubungannya terhadap orang lain di dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping hukum privat
materiil, juga dikenal hukum
perdata
formil yang lebih dikenal sekarang yaitu dengan HAP (hukum acara perdata) atau
proses perdata yang artinya hukum
yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caanya melaksanakan
praktek dilingkungan pengadilan perdata.
Didalam pengertian sempit kadang-kadang hokum perdata ini digunakan sebagai
hukum dagang.
Keadaan
hukum perdata dewasa ini di Indonesia
Mengenai
keadaan hokum perdata di Indonesia dapat dikatakan
masih bersifat majemuk, yaitu beraneka ragam. Penyebab dari keanekaragaman ini
ada 2 faktor:
1)
Faktor
ethnis disebabkan keanekaragaman hokum adat bangsa Indonesia karena Negara kita
Indonesia ini terdiri dari berbagai suku bangsa.
2)
Faktor
hostia yuridis yang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi
penduduk menjadi 3 golongan, yaitu:
a. Golongan
eropa dan yang dipersamakan.
b. Golongan bumu
putera (pribumi/bangsa Indonesia
asli) dan yang dipersamakan.
c. Golongan
timur asing (bangsa cina, india, arab)
Ø Sistematika Hukum Perdata
Sistematika
Hukum Perdata itu ada 2, yaitu sebagai berikut:
1.
Menurut Ilmu Hukum/Ilmu Pengetahuan
2. Menurut Undang-Undang/Hukum Perdata
Sistematika Menurut Ilmu Hukum/Ilmu Pengetahuan terdiri dari:
1.
Hukum tentang orang/hukum perorangan/badan pribadi (personen recht)
2.
Hukum tentang keluarga/hukum keluarga (Familie Recht)
3.
Hukum tentang harta kekyaan/hukum harta kekayaan/hukum harta benda (vermogen recht)
4. Hukum waris/erfrecht
Sistematika hukum perdata menurut kitab Undang-Undang hukum perdata
1.
Buku I tentang orang/van personen
2.
Buku II tentang benda/van zaken
3.
Buku III tentang perikatan/van
verbintenisen
4.
Buku IV tentang pembuktian dan
daluarsa/van bewijs en verjaring
Apabila kita gabungkan sistematika menurut ilmu pengetahuan
ke dalam sistematika menurut KUHPerdata maka:
1.
Hukum perorangan termasuk Buku I
2.
Hukum keluarga termasuk Buku I
3.
Hukum harta kekayaan termasuk buku II
sepanjang yang bersifat absolute dan termasuk Buku III sepanjang yang bersifat
relative
4.
Hukum waris termasuk Buku II karena
Buku II mengatur tentang benda, sedangkan hukum waris juga mengatur benda dari pewaris/orang yang sudah
meninggal karena pewarisan merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik
yang diatur dalam pasa 584 KUHperdata (terdapat dalam Buku II) yang menyatakan
sebagai berikut :
“Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan
cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluarsa,
karena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dank
arena penunjukan atau penyerahan, berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk
memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas
terhadap kebendaan itu”
BAB
4 (HUKUM PERIKATAN)
Ø Definisi Hukum Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda
disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam
literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang
mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu
menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat
berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat
berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang
bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat
itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang
atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian,
perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut
hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah
adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau
lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban
atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat
hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang
menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu
terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat
dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of
succession) serta dalam bidang hukum pribadi (pers onallaw).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum
Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu
dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali
untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam
bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah
hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah
dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian
perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal
yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita.
Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu
perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat
sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap
orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian
apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalamUndang-undang.
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalamUndang-undang.
Ø
Dasar
Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan
KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari
undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan
perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan
yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet
allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten
gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah
perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH
Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain
dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik
pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah
dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan
kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio
naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan
keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwarneming).
Ø
Azas-azas dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam
Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas
konsensualisme.
·
Asas
Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338
KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
·
Asas
konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat adalah:
1.
Kata
Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak
yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
2.
Cakap
untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya
bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21
tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3.
Mengenai
Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan
diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang
halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang
diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Ø Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Oleh
Paulus Khierawan
Permasalahan
dalam berbisnis seolah tidak pernah ada akhirnya. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk meminimalisir konflik yang mungkin terjadi antara para pelaku
usaha, namun konflik tersebut sulit untuk dihindari. Banyak konflik yang
akhirnya berakhir dengan gugatan. Namun banyak yang keliru dalam membedakan
wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. istilah wanprestasi ini mungkin
asing bagi orang – orang yang bukan berkecimpung di dunia hukum.
Wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu
keadaan dimana salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi sesuai dengan apa
yang telah disepakati. Wanprestasi memang mirip dengan apa yang disebut sebagai
perbuatan melawan hukum.
Mengapa
menjadi penting untuk dapat membedakan antara wanprestasi dengan perbuatan
melawan hukum? hal ini disebabkan karena baik wanprestasi maupun perbuatan
melawan hukum akan menjadi dasar bagi seseorang untuk mengugat. Apabila dasar
gugatan tersebut tidak sesuai dengan apa yang terjadi sebenarnya, maka gugatan
tersebut menjadi kabur atau tidak jelas (obscure
libel).
Akibatnya meskipun secara faktual pelaku usaha
tersebut memang berhak atas ganti rugi namun dalam pengadilan, terdapat
kemungkinan hakim tidak akan mengabulkan gugatan tersebut. terlebih lagi dalam
sistem hukum Indonesia dikenal adanya azaz ne
bis in idem yang berarti perkara yang sama tidak dapat diajukan dua
kali. Untuk itu, kesalahan untuk menentukan dasar gugatan merupakan kesalahan
yang fatal, dimana dalam perkara bisnis, kasus yang diajukan biasanya
mengangkut dana yang cukup besar.
Secara
umum, perbedaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum terletak pada
apakah pelanggaran tersebut terdapat dalam di dalam perjanjian atau tidak.
Seseorang dapat menggugat wanprestasi apabila terdapat cidera janji salah oleh
satu pihak dalam perjanjian. Oleh karena itu, tidak ada wanprestasi tanpa ada
perjanjian. Wanprestasi terjadi karena pihak yang dibebani kewajiban tidak
memenuhi isi perjanjian seperti yang telah disepakati sebelumnya. “tidak
memenuhi” isi perjanjian tersebut dapat berupa :
1.
Tidak
dipenuhinya prestasi sama sekali
2.
Prestasi
dilakukan, namun waktunya tidak tepat / tidak sesuai dengan yang disepakati
3.
Prestasi
tidak sesuai dengan yang disepakati
Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) muncul akibat dari Undang – Undang. Perbuatan Melawan Hukum
diatur dalam pasal 1356 KUHPdt mengenai perikatan – perikatan yang dilahirkan
demi Undang – Undang, dimana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa :
“tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibakan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”
Ketentuan
mengenai perbuatan melawan hukum ini sering kali disebut sebagai pasal karet
karena seseorang dapat digugat atas perbuatan melawan hukum tidak hanya
perbuatannya melanggar Undang – Undang saja, melainkan juga apabila perbuatan
tersebut :
1.
Bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku
2.
Bertentangan
dengan hak orang lain
3.
Bertentangan
dengan kesusilaan, kepatutan, dan kehati – hatian.
Selain
hal tersebut, sebuah perbuatan dapat dikatakan perbuatan melawan hukum jika
terdapat unsur kesalahan (dimana unsur kesalahan ini sebagai perbuatan dan
akibat yang dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku), adanya kerugian
(kerugian tidak hanya bersifat kerugian material saja, tetapi juga kerugian
immaterial seperti ketakutan, beban pikiran, dan sebagainya), dan terakhir
adalah adanya hubungan sebab – akibat dari perbuatan yang dilakukan dengan
kerugian yang ditimbulkan.
Ø Hapusnya Perikatan
Dalam
KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud berakhirnya perikatan,
tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya hapusnya perikatan. Pasal
1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara
tersebut adalah:
1.
Pembayaran.
2.
Penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
3.
Pembaharuan
utang (novasi).
4.
Perjumpaan
utang atau kompensasi.
5. Percampuran utang (konfusio).
6. Pembebasan
utang.
7.
Musnahnya
barang terutang.
8.
Batal/
pembatalan.
9.
Berlakunya
suatu syarat batal.
10.
Dan
lewatnya waktu (daluarsa).
Terkait
dengan Pasal 1231 perikatan yang lahir karena undang-undang dan perikatan yang
lahir karena perjanjian. Maka berakhirnya perikatan juga demikian. Ada
perikatan yang berakhir karena perjanjian seperti pembayaran, novasi,
kompensasi, percampuran utang, pembebasan utang, pembatalan dan berlakunya
suatu syarat batal. Sedangkan berakhirnya perikatan karena undang–undang
diantaranya; konsignasi, musnahnya barang terutang dan daluarsa.
Agar
berakhirnya perikatan tersebut dapat terurai jelas maka perlu dikemukakan
beberapa item
yang penting, perihal defenisi dan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya
sehinga suatu perikatan/ kontrak dikatakan berakhir:
Pembayaran
Berakhirnya
kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1382 BW
sampai dengan Pasal 1403 BW. Pengertian pembayaran dapat ditinjau secara sempit
dan secara yuridis tekhnis.
Pembayaran
dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur,
pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan
pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi
juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur
atau guru privat.
Suatu
maslah yang sering muncul dalam pembayaran adalah masalah subrogasi. Subrogasi
adalah penggantian hak-hak siberpiutang (kreditur) oleh seorang ketiga yang
membayar kepada siberpiutang itu. Setelah utang dibayar, muncul seorang
kreditur yang baru menggantikan kreditur yang lama. Jadi utang tersebut hapus
karena pembayaran tadi, tetapi pada detik itu juga hidup lagi dengan orang
ketiga tersebut sebagai pengganti dari kreditur yang lama.
Konsignasi
Konsignasi
terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh
debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan
jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di
pengadilan.
Novasi
Novasi
diatur dalam Pasal 1413 Bw s/d 1424 BW. Novasi adalah sebuah persetujuan,
dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain
harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga macam jalan
untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:
1.
Apabila
seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang
mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya.
Novasi ini disebut novasi objektif.
2.
Apabila
seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang
oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif
pasif).
3.
Apabila
sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk
menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari
perikatannya (novasi subjektif aktif).
Kompensasi
Kompensasi
atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 BW s/d Pasal 1435 BW. Yang
dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan
saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan
debitur (vide:
Pasal 1425 BW). Contoh: A menyewakan rumah kepada si B seharga RP 300.000
pertahun. B baru membayar setengah tahun terhadap rumah tersebut yakni RP
150.000. Akan tetapi pada bulan kedua A meminjam uang kepada si B sebab ia
butuh uang untuk membayar SPP untuk anaknya sebanyak Rp 150.000. maka yang
demikianlah antara si A dan si b terjadi perjumpaan utang.
Konfusio
Konfusio atau
percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 BW s/d Pasal 1437 BW. Konfusio
adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan
sebagai kreditur menjadi satu (vide:
Pasal 1436). Misalnya si debitur dalam suatu testamen
ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan
krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.
BAB 5 (HUKUM PERJANJIAN)
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa
Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang
telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah
ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat
terhadap ekonomi lemah.
Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis
yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan
seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir
tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut
ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif
tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya
dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau
hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang
sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku
sangat berat sebelah.
Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah
jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun
dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu
transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu
keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik
atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.
Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk
kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan
bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para
pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu
perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil
bagi satu pihak.
Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan
pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel
yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan
untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas
kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul
eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan
berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).
Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang
selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan
diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang
sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang
datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku
pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature)
terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya
perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.
Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang
merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh
dan majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat
membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan
perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk
emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Ø Standar kontrak Hukum Perjanjian
Kontrak baru lahir dari kebutuhan masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung dengan kontrak baru yang masih dipersoalkan.
Suatu kontrak harus berisi:
1. Nama
dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak.
2. Subjek
dan jangka waktu kontrak
3. Lingkup
kontrak
4. Dasar-dasar
pelaksanaan kontrak
5. Kewajiban
dan tanggung jawab
6. Pembatalan
kontrak
Menurut
Mariam Darus, standar kontrak terbagi 2 yaitu umum dan khusus.
a) Kontrak
standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh
kreditur dan disodorkan kepada debitur.
b) Kontrak
standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya
dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Macam Macam Perjanjian dalam Hukum Kontrak
Perjanjian
dapat dibedakan menurut berbagai cara, antara lain:
1.
Perjanjian
Cuma Cuma (pasal 1314 KUHPERdata)
suatu
persetujuan dengan cuma cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang
satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu
manfaat bagi dirinya sendiri.
perjanjian dengan cuma cuma adalah
perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misal: Hibah
2.
Perjanjian
atas beban
Perjanjian atas beban
adalh perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat
kontra prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya
menurut hukum. Jadi, dua pihak dalam memberikan prestasi tidak imbang.
Contoh: Perjanjian
pinjam pakai debitur
mempunyai beban untuk mengembalikan
barang, sedangkan kreditur tidak.
Perjanjian cuma cuma dan atas beban penekanan perbedaannya ada di PRESTASI
Perjanjian cuma cuma dan atas beban penekanan perbedaannya ada di PRESTASI
3.
Perjanjian
Timbal balik
Perjanjian timbal balik
adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Hak
dan Kewajiban harus imbang. Misal: Perjanjian Jual Beli
4.
Perjanjian
Sepihak
Hanya ada
satu hak saja dan hanya ada satu kewajiban saja. cntoh: Hibah
Perjanjian
Timbal Balik dan Sepihak penekanan perbedaannya ada di hak dan kewajiban.
5.
Perjanjian
Konsesual
Perjanjian Konsesual
adalah perjanjian di mana diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian
kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUPDT, perjanjian ini sudah
mempunyai kekuatan mengikat.( Pasal 1338)
6.
Perjanjian
RIIL
Perjanjian
yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Misal: Perjanjian
penitipan barang, PErjanjian pinjam pakai.
7.
Perjanjian
Formil
Perjanjian yang harus
memakai akta nota riil. contoh: jual beli tanah.
8.
Perjanjian
bernama dan tidak bernama
Perjanjian bernama
(nomina) adalah perjanjian yang sudah diatur dan diberi nama di dalam KUHPDT. Perjanjian
tidak bernama (innomina) adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPDT,
namun perjanjian berkembang dalam masyarakat. Contoh: Perjanjian kerja sama,
Perjanjian pemasaran, Perjanjian pengelolaan.
9.
Perjanjian
Obligatoir.
Perjanjian
obligatoir adalah perjanjian dimana pihak pihak sepakat, mengikatkan diri untuk
melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Perjanjian obligatoir hanya
melahirkan hak dan kewajiban saja, pelaksanaannya nanti.
10.
Perjanjian
Liberatoir
Perjanjian Liberatoir
adalah perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada.
Misal Pembebasan Utang
Ø Syarat-syarat Sahnya Perjanjian (Kontrak)
Untuk
mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka perjanjian
tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Terdapat 4 syarat keabsahan
kontrak yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yang merupakan syarat pada
umumnya, sebagai berikut
·
Syarat sah yang subyekif berdasarkan
pasal 1320 KUH Perdata
Disebut dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan
subyek perjanjian. Konsekuensi apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat
subyektif ini adalah bahwa kontrak tersebut dapat “dapat dibatalkan” atau
“dimintakan batal” oleh salah satu pihak yang berkepentingan. Apabila tindakan
pembatalan tersebut tidak dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus
dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.
1. Adanya kesepakatan kehendak
(Consensus, Agreement)
Dengan
syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap saah oleh
hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur
oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan
kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut.
a) Paksaan
(dwang, duress)
b) Penipuan
(bedrog, fraud)
c) Kesilapan
(dwaling, mistake)
Sebagaimana pada pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa
kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh
dengan paksaan atau penipuan.
2. Wenang / Kecakapan berbuat menurut
hukum (Capacity)
Syarat wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang
melakukan kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat
kontrak tersebut. Sebagaimana pada pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa
setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali undang-undang
menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk
membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu
a) Orang-orang yang belum dewasa
b) Mereka yang berada dibawah
pengampuan
c) Wanita
yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-Undang No.1 tahun
1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini menentukan bahwa hak
dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
·
Syarat sah yang objektif berdasarkan
pasal 1320 KUH Perdata
Disebut dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek
perjanjian. Konsekuensi hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif
akibatnya adalah kontrak yang dibuat batal demi hukum. Jadi sejak kontrak
tersebut dibuat kontrak tersebut telah batal.
3. Obyek / Perihal tertentu
Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu
kontrak haruslah berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh
hukum. Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata.
Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat
menjadi pokok suatu perjanjian”
Sedangkan pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang
yang paling sedikit ditentukan jenisnya
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu,
asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan / dihitung”
4. Kausa yang diperbolehkan / halal / legal
Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan
maksud / alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak
untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian
tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan /
ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata
juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat
karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Atau ada pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh
hukum, haruslah memenuhi beberapa persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4
persyaratan yuridis agar suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:
1. Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a) Objek
/ Perihal tertentu
b) Kausa
yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan
2. Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a) Adanya
kesepakatan dan kehendak
b) Wenang
berbuat
3. Syarat sah yang umum di luar pasal 1320 KUH Perdata
a) Kontrak
harus dilakukan dengan I’tikad baik
b) Kontrak
tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
c) Kontrak
harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d) Kontrak
tidak boleh melanggar kepentingan umum
4. Syarat sah yang khusus
a) Syarat
tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
b) Syarat
akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
c) Syarat
akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
d) Syarat
izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu
Ø Saat Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya
perjanjian mempunyai arti penting bagi :
a) Kesempatan penarikan kembali penawaran;
a) Kesempatan penarikan kembali penawaran;
b) Penentuan resiko;
c) Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d) Menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata
dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak
lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak
terhadap obyek yangdiperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat
konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak
atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan
memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki
apa yang disepakati.
Adabeberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat
lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas
suatu penawaran telah ditulissuratjawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak
itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah
saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal
lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat
jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat
diterimanya jawaban, tak peduli apakahsurattersebut dibuka atau dibiarkan tidak
dibuka. Yang pokok adalah saatsurattersebut sampai pada alamat si
penerimasuratitulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.
Pelaksanaan Perjanjian Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian,
artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan
kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli.
Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah
diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya.
Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Ø Pembatalan dan Pelaksanaan
Perjanjian
Pembatalan Perjanjian Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh
salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak
biasanya terjadi karena;
1. Adanya
suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2. Pihak
pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau
secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3. Terkait
resolusi atau perintah pengadilan
4. Terlibat
hukum
5. Tidak
lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat
sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah
barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat
kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak
sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang
berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan
suatu perbuatan.
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4
syarat:
1. Kesepakatan mereka yang
mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak
terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif,
sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal
tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka
kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur
ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka
kontrak tersebut adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas
ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya
persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang.
Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah
termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di
dalamnya.
Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena
perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian adalah
perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat
antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan adanya kata
sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme. asas ini
adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya sudah
dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.
Syarat pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan
kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk
membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik autentik maupun tidak,
tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya saja perjanjian
yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi persyaratan formil.
Subyek hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam
perjanjian atau wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata
sepakat itu dikenal dengan asas kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut
lebih sering disebut sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang
berhutang atau yang berkewajiban mengembalikan, atau menyerahkan, atau
melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak
yang berhak menagih atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Berdasar kesepakatan pula, bahwa perjanjian itu dimungkinkan
tidak hanya mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga
mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi termasuk perjanjian
yang mengikat pihak ketiga .
Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu
perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini
maka yang harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga
perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan causa dalam
hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat terjadinya
kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan diserahkan
itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu harus
halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa tersebut
haruslah halal. Jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan.
Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang atau dengan
kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan perundang-undangan, yang
biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang merugikan pihak lain sehingga
bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana. Adapun isi perjanjian yang
bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar ditentukan, sebab hal ini berkaitan
dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan masing-masing kelompok masyarakat
mempunyai tata tertib kesusilaan yang berbeda-beda.
Secara mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu :
1. Perjanjian Konsensuil
Adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para
pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.
2. Perjanjian Riil
Adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang
menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.
3. Perjanjian Formil
Adalah perjanjian di samping sepakat juga penuangan dalam
suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar